A. Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
1.
Pengertian HKI
Menurut
Undang-undang No. 19 Tahun 2002 pasal 1 angka 1 bahwa Hak Cipta sebagai hak
eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaanya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak
mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.
Hak Atas Kekayaan Intelektual
merupakan hak yang diberikan kepada orang-orang atas hasil dari buah pikiran
mereka. Biasanya hak eksklusif tersebut diberikan atas penggunaan dari hasil
buah pikiran si pencipta dalam kurun waktu tertentu. HKI adalah hak yang
berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang
diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya, yang memiliki
manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia, juga mempunyai nilai
ekonomis.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta mendefinisikan bahwa Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta
atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau
memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. (pasal 1 ayat 1).
2.
Prinsip-primsip HKI
a.
Prinsip Ekonomi (The Economic Argument)
Berdasarkan
prinsip ini HKI memiliki manfaat dan nilai ekonomi serta berguna bagi kehidupan
manusia. Nilai ekonomi pada HKI merupakan suatu bentuk kekayaan bagi
pemiliknya, pencipta mendapatkan keuntungan dari kepemilikan terhadap karyanya
seperti dalam bentuk pembayaran royalti terhadap pemutaran musik dan lagu hasil
ciptaannya. Prinsip ekonomi, yakni hak intelektual berasal dari kegiatan
kreatif suatu kemauan daya pikir manusia yang diekspresikan dalam berbagai
bentuk yang akan memeberikan keuntungan kepada pemilik yang bersangkutan.
b.
Prinsip Keadilan (The Principle of Natural Justice)
Berdasarkan
prinsip ini, hukum memberikan perlindungan kepada pencipta berupa suatu
kekuasaan untuk bertindak dalam rangka kepentingan yang disebut hak. Pencipta
yang menghasilkan suatu karya berdasarkan kemampuan intelektualnya wajar jika
diakui hasil karyanya. Prinsip keadilan, yakni di dalam menciptakan sebuah
karya atau orang yang bekerja membuahkan suatu hasil dari kemampuan intelektual
dalam ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang akan mendapat perlindungan dalam
pemiliknya.
c.
Prinsip Kebudayaan (The Cultural Argument)
Berdasarkan
prinsip ini, pengakuan atas kreasi karya sastra dari hasil ciptaan manusia
diharapkan mampu membangkitkan semangat dan minat untuk mendorong melahirkan
ciptaan baru. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan dan perkembangan ilmu
pengetahuan, seni dan sastra sangat berguna bagi peningkatan taraf kehidupan,
peradaban dan martabat manusia. Selain itu, HKI juga akan memberikan keuntungan
baik bagi masyarakat, bangsa maupun negara. Prinsip kebudayaan, yakni
perkembangan ilmu pengetahuan, sastra, dan seni untuk meningkatkan kehidupan
manusia.
d.
Prinsip Sosial (The Social Argument)
Berdasarkan
prinsip ini, sistem HKI memberikan perlindungan kepada pencipta tidak hanya
untuk memenuhi kepentingan individu, persekutuan atau kesatuan itu saja
melainkan berdasarkan keseimbangan individu dan masyarakat. Bentuk keseimbangan
ini dapat dilihat pada ketentuan fungsi sosial dan lisensi wajib dalam
undang-undang hak cipta Indonesia. Prinsip social ( mengatur kepentingan
manusia sebagai warga Negara ), artinya hak yang diakui oleh hukum dan telah diberikan
kepada individu merupakan satu kesatuan sehingga perlindungan diberikan
bedasarkan keseimbangan kepentingan individu dan masyarakat.
3.
Cabang- Cabang HKI
a.
Hak cipta (copy right)
Hak cipta
adalah hak eklusif hak (hak yang semata-mata diperuntukan bagi pemegangnya
sehingga tidak ada pilihan lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin
pemegangnya) bagi pencipta atau penerima
hak untuk mengumumkan dan memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk
itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan-peraturan
yang berlaku. Di Indonesia, pengaturan hak cipta diatur dalam UU No.
19 tahun 2002 tentang hak cipta (UUHC).
Sifat
kebendaan hak cipta yaitu benda bergerak tidak berwujud. Hak cipta ini bisa
beralih dari satu orang ke orang lain tapi tidak bisa secara lisan harus dengan
bukti otentik secara tertulis baik tanpa atau dengan akta notaris.
Pencipta
adalah orang yang namanya terdaftar dalam daftar umum ciptaan pada Direktorat
Jendral HKI atau orang yang namanya disebut dalam ciptaan atau diumumkan
sebagai pencipta pada suatu ciptaan. Hak pencipta dibagi 2, yaitu:
a)
Hak ekonomi (economi right) adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi
bagi penciptanya atau pemegang hak cipta untuk mendapatkan manfaat atas ciptaan
serta produk hak terkait.
b)
Hak moral ( moral right) adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku yang tidak
dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apapun walaupun hak ekonomi pada
hak cipta atau hak terkait telah dialihkan, kecuali dengan persetujuan pencipta
dengan persetujuan ahli warisnya dalam pencipta telah meninggal dunia.
2.
Hak
paten (patent)
Hak paten
adalah hak eklusif yang diberikan oleh Negara kepada investor atau hasil
invensi dalam bidang teknologi, selama jangka waktu tertentu melakukan
invensinya atau memberikan persetujuan pada pihak lain untuk melaksanaknnya.
Dasar hukumunya yaitu UU No. 24 tahun 2001 tentang paten.
3)
Hak merek (trademark)
Pasal 1 ayat
1 UU Merek merumuskan bahwa merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata,
huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur
tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan
barang atau jasa. Tanda yang dapat diklasifikasikan merek yaitu, kata, huruf,
angka, gambar, warna, dan gabungan unsur-unsur tersebut, seperti satu warna
(single colour), tanda-tanda 3 dimensi baik berbentuk sebuah produk atau
kemasan, tanda-tanda yang dapat didengar, tanda-tanda yang dapat dicium, tanda-tanda
bergerak.
Merek terdiri dari merek jasa, dagang dan kolektif. Ketentuan dalam
pendaftaran merek mencakup hal sebagai berikut:
a) Sebuah merek bisa didaftarkan
apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
a.
Adanya daya pembeda
b.
Keaslian (originality)
b) Sebuah
merek tidak dapat didaftarkan apabila terjadi hal-hal berikut:
a.
Permohonan dilakukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik
b.
Merek tersebut mengandung salah satu unsur dibawah ini:
1.
Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
2. Tidak
memiliki daya pembeda
3. Telah
menjadi milik umum
4. Merupakan
keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan
pendaftarannya.
Sanksi pidana :
1.
Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama
pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan
atau jasa sejenis diproduksi dan atau diperdagangkan dipidana dengan pidana
penjara pling lama 5 tahun dan atau denda paing banyak Rp 1.000.000.000,00
2.
Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama
pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang atau jasa
sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 tahun dan atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00.
10 prinsip
penting UU Merek Indonesia:
1.
Merek merupakan sebuah tanda yang membedakan sebuah produk barang atau
jasa dengan produk barang atau jasa lain yang sejenis
2.
Perlindungan merek diberikan dengan pendaftaran
3.
Pihak yang mengajukan permohonan dibatasi
4.
Jangka waktu perlindungan merek dapat diperpanjang
5.
UU merek
menyediakan pengecualian khusus terhadap perlindungan indikasi asal yang tak
harus didaftarkan
6.
Menganut asas pendaftar pertama.
7.
Menggunakan prinsip permohonan merek yang beritikad baik
8.
Penghapusan merek oleh Direktorat Jendral HKI terjadi karena 4
kemungkinan, yaitu atas prakarsa Direktorat Jendral HKI, atas permohonan dari
pemegang merek, keputusn pengadilan, tidak diperpanjangnya jangka waktu
perlindungan merek
9.
Putusan pengadilan niaga hanya data diajukan kasasi
10. Menyadarkan
proses tuntutan pidana berdasarkan delik aduan
B. Sejarah Perkembangan HKI di
Indonesia
1.
Secara historis, peraturan perundang-undangan di bidang HKI di Indonesia
telah ada sejak tahun 1840. Pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan
undang-undang pertama mengenai perlindungan HKI pada tahun 1844. Selanjutnya,
Pemerintah Belanda mengundangkan UU Merek tahun 1885, Undang-undang Paten tahun
1910, dan UU Hak Cipta tahun 1912. Indonesia yang pada waktu itu masih bernama Netherlands
East-Indies telah menjadi angGota Paris Convention for the Protection of
Industrial Property sejak tahun 1888, anggota Madrid Convention dari
tahun 1893 sampai dengan 1936, dan anggota Berne Convention for the
Protection of L teraty and Artistic Works sejak tahun 1914. Pada zaman
pendudukan Jepang yaitu tahun 1942 sampai dengan 1945, semua peraturan
perundang-undangan di bidang HKI tersebut tetap berlaku. Pada tanggal 17
Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Sebagaimana
ditetapkan dalam ketentuan peralihan UUD 1945, seluruh peraturan
perundang-undangan peninggalan Kolonial Belanda tetap berlaku selama tidak
bertentangan dengan UUD 1945. UU Hak Cipta dan UU Merek tetap berlaku, namun
tidak demikian halnya dengan UU Paten yang dianggap bertentangan dengan
pemerintah Indonesia. Sebagaimana ditetapkan dalam UU Paten peninggalan
Belanda, permohonan Paten dapat diajukan di Kantor Paten yang berada di Batavia
(sekarang Jakarta), namun pemeriksaan atas permohonan Paten tersebut harus
dilakukan di Octrooiraad yang berada di Belanda
2. Pada tahun
1953 Menteri KeHKIman RI mengeluarkan pengumuman yang merupakan perangkat
peraturan nasional pertama yang mengatur tentang Paten, yaitu Pengumuman
Menteri KeHKIman no. J.S 5/41/4, yang mengatur tentang pengajuan sementara
permintaan Paten dalam negeri, dan Pengumuman Menteri KeHKIman No. J.G 1/2/17
yang mengatur tentang pengajuan sementara permintaan paten luar negeri.
3. Pada tanggal
11 Oktober 1961 Pemerintah RI mengundangkan UU No.21 tahun 1961 tentang Merek
Perusahaan dan Merek Perniagaan untuk mengganti UU Merek Kolonial Belanda. UU
No 21 Tahun 1961 mulai berlaku tanggal 11 November 1961. Penetapan UU Merek ini
untuk melindungi masyarakat dari barang-barang tiruan/bajakan.
4. 10 Mei 1979
Indonesia meratifikasi Konvensi Paris Paris Convention for the Protection of
Industrial Property (Stockholm Revision 1967) berdasarkan keputusan
Presiden No. 24 tahun 1979. Partisipasi Indonesia dalam Konvensi Paris saat itu
belum penuh karena Indonesia membuat pengecualian (reservasi) terhadap sejumlah
ketentuan, yaitu Pasal 1 sampai dengan 12 dan Pasal 28 ayat 1.
5. Pada tanggal
12 April 1982 Pemerintah mengesahkan UU No.6 tahun 1982 tentang Hak Cipta untuk
menggantikan UU Hak Cipta peninggalan Belanda. Pengesahan UU Hak Cipta tahun
1982 dimaksudkan untuk mendorong dan melindungi penciptaan, penyebarluasan
hasil kebudayaan di bidang karya ilmu, seni, dan sastra serta mempercepat
pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa.
6. Tahun 1986
dapat disebut sebagai awal era moderen sistem HKI di tanah air. Pada tanggal 23
Juli 1986 Presiden RI membentuk sebuah tim khusus di bidang HKI melalui
keputusan No.34/1986 (Tim ini dikenal dengan tim Keppres 34) Tugas utama Tim
Keppres adalah mencakup penyusunan kebijakan nasional di bidang HKI,
perancangan peraturan perundang-undangan di bidang HKI dan sosialisasi sistem
HKI di kalangan instansi pemerintah terkait, aparat penegak hukum dan
masyarakat luas.
7. 19 September
1987 Pemerintah RI mengesahkan UU No.7 Tahun 1987 sebagai perubahan atas UU No.
12 Tahun 1982 tentang Hak Cipta.
8. Tahun 1988
berdasarkan Keputusan Presiden RI No.32 ditetapkan pembentukan Direktorat
Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek (DJHCPM) untuk mengambil alih fungsi dan
tugas Direktorat paten dan Hak Cipta yang merupakan salah satu unit eselon II
di lingkungan Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan, Departemen
KeHKIman.
9. Pada tanggal
13 Oktober 1989 Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui RUU tentang Paten yang
selanjutnya disahkan menjadi UU No. 6 Tahun 1989 oleh Presiden RI pada tanggal
1 November 1989. UU Paten 1989 mulai berlaku tanggal 1 Agustus 1991.
10. 28 Agustus
1992 Pemerintah RI mengesahkan UU No. 19 Tahun 1992 tentang Merek, yang mulai
berlaku 1 April 1993. UU ini menggantikan UU Merek tahun 1961.
11. Pada tanggal
15 April 1994 Pemerintah RI menandatangani Final Act Embodying the Result of
the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations, yang mencakup Agreement
on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan
TRIPS).
12. Tahun 1997
Pemerintah RI merevisi perangkat peraturan perundang-undangan di bidang HKI,
yaitu UU Hak Cipta 1987 jo. UU No. 6 tahun 1982, UU Paten 1989 dan UU Merek
1992.
13. Akhir tahun
2000, disahkan tiga UU baru dibidang HKI yaitu : (1) UU No. 30 tahun 2000
tentang Rahasia Dagang, UU No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri, dan UU
No. 32 tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
14. Untuk
menyelaraskan dengan Persetujuan TRIPS (Agreement on Trade Related Aspects of
Intellectual Property Rights) pemerintah Indonesia mengesahkan UU No 14 Tahun
2001 tentang Paten, UU No 15 tahun 2001 tentang Merek, Kedua UU ini
menggantikan UU yang lama di bidang terkait. Pada pertengahan tahun 2002,
disahkan UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang menggantikan UU yang lama
dan berlaku efektif satu tahun sejak di undangkannya.
15. Pada tahun
2000 pula disahkan UU No. 29 tahun 2000
Tentang Perlindungan Varietas Tanaman dan mulai berlaku efektif sejak tahun
2004.
Seperti telah disinggung di atas,
Indonesia telah memiliki perangkat hukum yang memadai di bidang perlindungan
hak kekayaan intelektual. Indonesia telah meratifikasi konvensi-konvensi internasional
di bidang hak kekayaan intelektual seperti Paris Convention, Berne
Convention, maupun Trade Related Aspects of Intellectuals Property
Rights (TRIPs). Perangkat hokum di bidang hak keyaan
intelektual yang dipunyai Indonesia diantaranya adalah:
a.
UU No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman
b.
UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang
c.
UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri
d.
UU No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
e.
UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten
f.
UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek
g.
UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
h.
UU No. 7 Tahun 1994 Tentang Ratifikasi Trade Related Aspects of
Intellectuals Property Rights (TRIPs).
CONTOH KASUS HAK CIPTA
A. Hasil Penelitian
Disini saya akan menganalisa
kasus pelanggaran hak cipta lagu Wali Band “Cari Jodoh”.
B. Pembahasan
Kasus pembajakan karya cipta lagu 'Cari Jodoh' yang
dipopulerkan Band Wali mulai disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Malang, Jawa
Timur, Rabu (1/5/2013).
Di sidang pertama itu, bos PT
Nagaswara, Rahayu Kertawiguna, dihadirkan. Rahayu adalah bos dari label yang
selama ini mendistribusikan karya-karya Faang dan kawan-kawannya itu. Selain
bos PT Nagaswara, Rahayu hadir di persidangan sebagai saksi atas dugaan
pembajakan yang dilakukan Malikul Akbar Atjil.
Kala dihubungi lewat telepon,
Kamis (2/5/2013), Rahayu mengatakan, perbuatan yang dilakukan Atjil dengan
membajak karya orang lain itu jelas merugikan. "Akan lebih merugikan lagi
apabila tindakan pembajakan itu dibiarkan," ujar Rahayu. Sebagai pemilik
label yang mendistribusikan lagu-lagu musisi Indonesia, termasuk artis dan
penyanyi Nagaswara, Rahayu mempunyai tugas dan kewajiban untuk ikut-serta
menjaga karya para artisnya itu.
Kasus lagu 'Cari Jodoh' milik
Band Wali, cerita Rahayu, pihaknya semula tidak tahu perbuatan yang dilakukan
Atjil. "Jangankan memberi tahu, minta ijin memakai lagu 'Cari Jodoh-nya'
Wali saja tidak dilakukan Atjil," tutur Rahayu.
Menurut Rahayu, akibat aksi
pembajakan lagu 'Cari Jodoh' itu, sebagai pemegang hak cipta karya tersebut,
pihaknya dirugikan Atjil sebesar Rp 1 Milyar. Dalam laporannya yang dibuat
tahun 2010, Rahayu menyertakan jumlah kerugian itu.
Selama Atjil belum diputus
bersalah oleh majelis HKIm PN Malang, jelas Rahayu, pihak distribusi Malaysia
Incitech bisa terus menjual karya lagu 'Cari Jodoh-nya' Band Wali versi Atjil
tanpa ada ijin yang jelas.
Perkara tersebut dimulai ketika lagu 'Cari Jodoh' karya cipta Band Wali
dibajak di Malaysia tahun 2009. Setelah dilakukan penyidikan, Polda Jawa Timur
menangkap Atjil di Surabaya pada awal tahun 2013. Atjil belakangan diketahui
pernah menjadi aktivis Antipembajakan. Saat ditangkap, Atjil mengaku, Malaysia
Incitech sudah membeli karya lagu 'Cari Jodoh' dari Wali Band. (kin)
C. Kasus Pelanggaran Hak Cipta
Lagu Wali Band
Dilihat dari analisa di atas, jika kita cari penyelesaiannya ini
merupakan pelanggaran Hak Cipta, dapat kita ambil bahwa sanksi pidana yang
harus diberikan adalah :
1.
Barang siapa memperbanyak atau mengumumkan suatu ciptaan tanpa izin
pencipta atau pemegang hak ciptanya dipidana dengan pidana penjara
masing-masing paling singkat satu bulan dan denda paling sedikit Rp
1.000.000,00 dan pidana penjara paling lama 7 tahun dengan denda paling banyak
Rp 5.000.000.000,00.
2. Barang siapa dengan sengaja
menyiarkan memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau
barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00.
3. Barang siapa dengan sengaja dan
tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program
computer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling
banyak Rp 500.000.000,00.
A. Kesimpulan
Hak cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin untuk itu dengan
tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Hak cipta merupakan hak ekslusif, yang memberi arti bahwa selain
pencipta maka orang lain tidak berhak atasnya kecuali atas izin penciptaan.
Pengaturan mengenai hak cipta dimuat dalam Undang-Undang No. 19 Tahun
2002 yang bertujuan untuk merealisasi amanah Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
dalam rangka pembangunan di bidang hukum, dimaksudkan untuk mendorong dan
melindungi pencipta dan hasil karya ciptaanya.
Yang dapat diambil dari pembahasan mengenai “Hak Kekayaan Intelektual (HKI)” dengan kasus pelanggaran Hak Cipta lagu
Wali Band adalah dapat mengetahui bagaimana
seharusnya sanksi pidana atas pelanggaran Hak Cipta. Upaya dan penegakan hukum
yang dapat dilakukan terhadap pelanggaran Hak Moral karya lagu/musik dan
rekaman suara antara lain dengan memperkuat kelembagaan hak cipta, sosialisasi
dan peningkatan kesadaran hukum masyrakat, dan penindakan hukum terhadap
pelanggaran hak moral.
B. Saran
Dengan adanya penelitian ini,
disarankan kepada masyarakat agar mengetahui pentingnya menghargai HKI dalam kehidupan. - Pemerintah harus memberikan sosialisasi kepada semua masyarakat untuk
menghargai hasil karya cipta seseorang. Pemerintah harus bertindak tegas untuk
menghukum pelaku yang terlibat dalam kasus pelanggaran hak cipta di Indonesia. Sehingga
negara Indonesia ini dapat mencapai tujuannya untuk menjadi bangsa yang lebih
baik dari sebelumnya dalam segala bidang.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar