Antara pertengahan tahun 1960-an sampai tahun 1996, waktu
Indonesia berada dibawah kepemimpinan Pemerintahan
Orde Baru Suharto, tingkat kemiskinan di Indonesia menurun drastis - baik
di desa maupun di kota - karena pertumbuhan ekonomi yang cukup kuat dan adanya program-program
penanggulangan kemiskinan yang efisien. Selama pemerintahan Suharto angka
penduduk Indonesia yang tinggal di bawah garis kemiskinan menurun drastis, dari
awalnya sekitar setengah dari jumlah keseluruhan populasi penduduk Indonesia,
sampai hanya sekitar 11 persen saja. Namun, ketika pada tahun 1990-an Krisis
Finansial Asia terjadi, tingkat kemiskinan melejit tinggi, dari 11 persen
menjadi 19.9 persen di akhir tahun 1998, yang berarti prestasi yang sudah
diraih Orde Baru hancur seketika.
Tabel
berikut ini memperlihatkan angka kemiskinan di Indonesia, baik relatif maupun
absolut:
Statistik Kemiskinan dan Ketidaksetaraan di Indonesia:
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
2013
|
2014
|
Kemiskinan Relatif
(% dari populasi) |
17.8
|
16.6
|
15.4
|
14.2
|
13.3
|
12.5
|
11.7
|
11.5
|
11.0
|
Kemiskinan Absolut
(dalam jutaan) |
39
|
37
|
35
|
33
|
31
|
30
|
29
|
29
|
28
|
Koefisien Gini/
Rasio Gini |
-
|
0.35
|
0.35
|
0.37
|
0.38
|
0.41
|
0.41
|
0.41
|
-
|
Sumber: Bank Dunia dan Badan Pusat
Statistik (BPS)
Tabel di atas menunjukkan penurunan kemiskinan nasional
secara perlahan. Namun, pemerintah Indonesia menggunakan persyaratan dan
kondisi yang tidak ketat mengenai definisi garis kemiskinan, sehingga yang
tampak adalah gambaran yang lebih positif dari kenyataannya. Tahun 2014
pemerintah Indonesia mendefinisikan garis kemiskinan dengan perdapatan per
bulannya (per kapita) sebanyak Rp. 312,328. Jumlah tersebut adalah setara
dengan USD $25 yang dengan demikian berarti standar hidup yang sangat rendah,
juga buat pengertian orang Indonesia sendiri. Namun jika kita menggunakan nilai
garis kemiskinan yang digunakan Bank Dunia, yang mengklasifikasikan persentase
penduduk Indonesia yang hidup dengan penghasilan kurang dari USD $1.25 per hari
sebagai mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan, maka persentase tabel di
atas akan kelihatan tidak akurat karena nilainya seperti dinaikkan beberapa
persen. Lebih lanjut lagi, menurut Bank Dunia, angka penduduk Indonesia yang
hidup dengan penghasilan kurang dari USD $2 per hari mencapai angka 50.6 persen
dari jumlah penduduk pada tahun 2009. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar
penduduk Indonesia hidup hampir di bawah garis kemiskinan. Laporan lebih anyar
lagi di media di Indonesia menyatakan bahwa sekitar seperempat jumlah penduduk
Indonesia (sekitar 60 juta jiwa) hidup sedikit di atas garis kemiskinan.
Dalam beberapa tahun belakangan ini angka kemiskinan di
Indonesia memperlihatkan penurunan yang signifikan. Meskipun demikian,
diperkirakan penurunan ini akan melambat di masa depan. Mereka yang dalam
beberapa tahun terakhir ini mampu keluar dari kemiskinan adalah mereka yang
hidup di ujung garis kemiskinan yang berarti tidak diperlukan sokongan yang
kuat untuk mengeluarkan mereka dari kemiskinan. Namun sejalan dengan
berkurangnya kelompok tersebut, kelompok yang berada di bagian paling bawah
garis kemiskinanlah yang sekarang harus dibantu untuk bangkit. Ini lebih rumit
dan akan menghasilkan angka penurunan tingkat kemiskinan yang berjalan lebih
lamban dari sebelumnya.
Kemiskinan di Indonesia dan Distribusi Geografis
Salah satu karakteristik kemiskinan di Indonesia adalah
perbedaan yang begitu besar antara nilai kemiskinan relatif dan nilai
kemiskinan absolut dalam hubungan dengan lokasi geografis. Jika dalam
pengertian absolut lebih dari setengah jumlah total penduduk Indonesia yang
hidup miskin berada di pulau Jawa (yang berlokasi di bagian barat Indonesia
dengan populasi padat), dalam pengertian relatif propinsi-propinsi di Indonesia
Timur menunjukkan nilai kemiskinan yang lebih tinggi. Tabel di bawah ini
menunjukkan lima propinsi di Indonesia dengan angka kemiskinan relatif yang
paling tinggi. Semua propinsi ini berlokasi di luar wilayah Indonesia Barat
seperti Jawa, Sumatra dan Bali, yang adalah wilayah-wilayah yang lebih
berkembang.
Propinsi dengan Angka Kemiskinan Relatif Tinggi¹
Papua
|
27.8%
|
Papua Barat
|
26.3%
|
Nusa Tenggara Timur
|
19.6%
|
Maluku
|
18.4%
|
Gorontalo
|
17.4%
|
¹ persentase berdasarkan total
penduduk per propinsi bulan September 2014
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
Tingkat kemiskinan di propinsi-propinsi di Indonesia Timur
ini, di mana sebagian besar penduduknya adalah petani, kebanyakan ditemukan di
wilayah pedesaan. Di daerah tersebut masyarakat adat sudah lama hidup di
pinggir proses dan program pembangunan. Migrasi ke daerah perkotaan adalah
satu-satunya cara untuk mendapatkan
pekerjaan dan - dengan demikian - menghindari kemiskinan.
Bertentangan dengan angka kemiskinan relatif di Indonesia
Timur, tabel di bawah ini menunjukkan angka kemiskinan absolut di Indonesia
yang berkonsentrasi di pulau Jawa dan Sumatra.
Propinsi dengan Angka Kemiskinan Absolut Tinggi¹
Jawa Timur
|
4.7
|
Jawa Tengah
|
4.6
|
Jawa Barat
|
4.2
|
Sumatra Utara
|
1.4
|
Lampung
|
1.1
|
¹ dalam jumlah jutaan pada bulan
September 2014
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
Stabilitas
harga makanan (khususnya beras)
adalah masalah penting bagi Indonesia sebagai negara yang penduduknya
menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk membeli beras. Oleh karena
itu, tekanan
inflasi harga beras (misalnya karena gagal panen) dapat memiliki konsekuensi
serius bagi mereka yang miskin atau hampir miskin dan secara signifikan
menaikkan persentase angka kemiskinan di negara ini.
Kemiskinan di Indonesia: Kota dan Desa
Indonesia
telah mengalami proses urbanisai yang cepat dan pesat. Sejak pertengahan 1990-an
jumlah absolut penduduk pedesaan di Indonesia mulai menurun dan saat ini lebih
dari setengah total penduduk
Indonesia tinggal di wilayah perkotaan (20 tahun yang lalu sekitar
sepertiga populasi Indonesia tinggal di kota).
Kecuali beberapa propinsi, wilayah pedesaan di Indonesia
relatifnya lebih miskin dibanding wilayah perkotaan. Angka kemiskinan pedesaan
Indonesia (persentase penduduk pedesaan yang hidup di bawah garis kemiskinan
desa tingkat nasional) turun hingga sekitar 20 persen di pertengahan 1990-an
tetapi melonjak tinggi ketika Krisis
Finansial Asia (Krismon) terjadi antara tahun 1997 dan 1998, yang
mengakibatkan nilainya naik mencapai 26 persen. Setelah tahun 2006, terjadi
penurunan angka kemiskinan di pedesaan yang cukup signifikan seperti apa yang
ditunjukkan tabel dibawah ini:
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
2013
|
2014
|
Kemiskinan Pedesaan
(% penduduk yg hidup di bawah garis kemiskinan desa) |
20.0
|
21.8
|
20.4
|
18.9
|
17.4
|
16.6
|
15.7
|
14.3
|
14.4
|
13.8
|
Sumber:
Bank Duna dan Badan Pusat Statistik (BPS)
Angka
kemiskinan kota adalah persentase penduduk perkotaan yang tinggal di bawah
garis kemiskinan kota tingkat nasional. Tabel di bawah ini, yang memperlihatkan
tingkat kemiskinan perkotaan di Indonesia, menunjukkan pola yang sama dengan
tingkat kemiskinan desa: semakin berkurang mulai dari tahun 2006.
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
2013
|
2014
|
Kemiskinan Kota
(% penduduk yg tinggal di bawah garis kemiskinan kota) |
11.7
|
13.5
|
12.5
|
11.6
|
10.7
|
9.9
|
9.2
|
8.4
|
8.5
|
8.2
|
Sumber:
Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik (BPS)
Dalam
dua tabel di atas, terlihat bahwa pada tahun 2005 dan 2006 terjadi peningkatan
angka kemiskinan. Ini terjadi terutama karena adanya pemotongan subsidi BBM
yang dilakukan oleh pemerintahan presiden SBY diakhir tahun 2005. Harga minyak
yang secara internasional naik membuat pemerintah terpaksa mengurangi subsidi BBM
guna meringankan defisit anggaran pemerintah. Konsekuensinya adalah inflasi
dua digit antara 14 sampai 19 persen (yoy) terjadi sampai oktober 2006.
Ketidaksetaraan di Indonesia yang semakin Meluas?
Koefisien
GINI, yang mengukur ketimpangan distribusi pendapatan, menunjukkan tren
penurunan di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Sebuah koefisien 0
menunjukkan kesetaraan yang sempurna, sedangkan koefisien 1 menunjukkan
ketimpangan sempurna. Namun, kita masih dapat mempertanyakan metodologi
koefisien GINI ini karena ia membagi penduduk dalam lima kelompok,
masing-masing berisi 20 persen dari populasi: dari 20 persen terkaya sampai ke
20 persen termiskin. Selanjutnya, koefisien ini mengukur kesetaraan (dan
ketimpangan) antara kelompok-kelompok tersebut. Ketika menggunakan koefisien
ini untuk Indonesia masalah yang timbul adalah negara ini memiliki karakter
ketidakseimbangan ekstrim dalam setiap kelompoknya, sehingga membuat hasil
koefisien GINI kurang selaras dengan kenyataan. Terlebih lagi media di
Indonesia sering melaporkan bahwa kesenjangan antara miskin dan kaya di
Indonesia sebenarnya justru semakin meluas.
Menurut
Data Yang Ada Diatas, Saya Berpendapat Bahwa:
Pertumbuhan ekonomi yang kuat di Indonesia telah membantu
menekan angka kemiskinan. Angka kemiskinan turun ke 11.0 % pada tahun 2014,
dibandingkan 24% pada tahun 1999. Tapi kemudian kecepatannya berkurang. Tingkat
penurunan kemiskinan yang hanya mencapai 0.7% dalam dua tahun terakhir adalah
yang terkecil sepanjang satu dekade terakhir.
Meskipun Indonesia telah menjadi bagian dari 20 besar
ekonomi dunia, seperempat penduduknya masih sangat rentan untuk kembali miskin.
Perbedaannya tidak seberapa besar. Sekitar 68 juta penduduk Indonesia hidup
tidak jauh dari batas Rp 11.000. Dengan sedikit sakit, bencana atau kehilangan
pekerjaan, mereka bisa langsung kembali miskin.
Misalnya Sarmili dan keluarganya. Sarmili, pencari kerang di
Jakarta, bisa mendapat Rp 50,000 per hari, tapi jumlah itu hanya cukup untuk
membayar kebutuhan satu hari. “Apa yang kita dapat hari ini, ya habis.
Tidak ada yang tersisa untuk ditabung,” katanya.
Bila tidak ada pekerjaan, Sarmili dan keluarganya menjadi
miskin kembali. “Waktu tidak punya pekerjaan kemarin, saya pinjam uang ke
tengkulak. Saya pinjam Rp100.000, bulan depannya harus kembalikan Rp 120.000.”
Banyak yang bernasib seperti Sarmili. Dari data 2010,
separuh dari mereka yang miskin bukan termasuk orang miskin setahun sebelumnya.
Seperempat populasi Indonesia jatuh miskin setidaknya sekali dalam tiga tahun.
Situasi menjadi lebih sulit lagi ketika keluarga yang miskin menghabiskan uang
sangat sedikit untuk kesehatan dan pendidikan – rata-rata cuma 5%. Akhirnya
anak-anak yang dihasilkan pun tidak terdidik dan tidak sehat; mereka terancam
mewarisi lagi kemiskinan yang sama ke generasi berikutnya.
Ketimpangan konsumsi rumah tangga Indonesia pun telah
meningkat sejak tahun 2000. Koefisien GINI, ukuran dari ketimpangan konsumsi,
telah meningkat dari 0.30 pada tahun 2000 menjadi kira-kira 0.41 pada tahun 2013.
Kesenjangan antar wilayah pun tidak berkurang. Wilayah timur Indonesia
tertinggal di belakang wilayah-wilayah lain di Indonesia, terutama Jawa. Tak
heran bila angka ketimpangan konsumsi di Indonesia paling tinggi di Asia Timur,
walau Indonesia mencatat kemajuan yang baik dari sisi pengentasan kemiskinan.
Ada
banyak cara untuk melakukan pengentasan kemiskinan, seperti:
- Perbaikan akses pangan, kesehatan dan pendidikan bagi orang miskin,
- Penciptaan lebih banyak lagi lapangan kerja,
- Pembentukan jaring pengaman sosial untuk melindungi mereka yang rentan.
Pengentasan kemiskinan dan pengurangan ketimpangan
membutuhkan partisipasi semua pihak, bukan hanya pemerintah pusat, tapi juga
pemerintah daerah, lembaga-lembaga riset, sektor swasta dan lembaga-lembaga swadaya
masyarakat.